Image by FlamingText.com
Image by FlamingText.com

Senin, 02 Januari 2012

ZAMAN BERGERAK

ZAMAN BERGERAK

oleh Giyanto Giy pada 9 November 2011 pukul 11:24
"“Apa itu pergerakan?” Inilah yang dicoba dijawab oleh Takashi Shiraishi dengan cara yang unik dalam bukunya Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Penulisannya yang khas sebagaimana peneliti-peneliti Jepang menunjukan kedetailan yang luar biasa dan tidak terjebak oleh klasifikasi sosiologis dan ideologis yang dianggapnya “serampangan” dalam kepenulisan sejarah nasional ortodok.

Takashi mengambil fokus penelitian historisnya pada periode pergerakan yang terjadi di Surakarta dan sekitarnya---termasuk Semarang dan Jogjakarta---pada tahun 1912-1926. Periode tersebut dijadikan fokus penelitiannya karena pada masa itulah “embrio” pergerakan yang meningkatkan kesadaran nasional mulai terbangun dalam bentuknya yang lebih modern, yaitu organisasi. Namun demikian, Takashi tidak memfokuskan diri pada “pergerakan organisasi” itu sendiri, tapi lebih menekankan bagaimana seorang individu pelaku pergerakan berpikir, menulis dan berkata serta bertindak sebagai orang pertama. Alhasil dari cara pendekatan seperti itu, Takashi mampu mendeskripsikan makna pergerakan dari sudut pandang individual yang unik. Dimana mereka—sang pelaku sejarah---selalu mencoba mencomot, memungut dan menyusun ulang pemikiran atau ide-ide yang diperoleh dari bermacam gagagasan---Sosialisme Marx dan Islamisme---untuk memaknai tindakan mereka dalam memperjuangkan dunia yang sepenuhnya baru, yaitu Indonesia/Hindia.

Inilah yang menarik. Aktivisme yang demikian menunjukan bahwa pergerakan politik selalu membutuhkan landasan ideologis bagi suatu upaya perjuangan imajinasi tentang sebuah bangsa yang merdeka. Suatu konteks periode yang sangat pas dengan semangat zaman yang muncul dimasa itu. Dimana Sosialisme komunisme berjaya di negeri asalnya Uni Soviet, kemudian di sisi lain, partai liberal Belanda sedang berkuasa dan semangat politik etis pun baru saja dimulai. Alhasil, hal ini memberi semacam pupuk bagi tumbuhnya semangat perjuangan dengan cara modern sehingga mampu menyuguhkan suatu narasi yang dinamis akan makna pergerakan. Hal itu bisa dilihat dimana pers berperan penting sebagai alat propaganda pergerakan. Yang dimulai oleh seorang Tirtoadhisoerjo (1880) yang sejak tahun 1903 menerbitkan Koran sendiri (Medan Prijaji, Potri Hindia dan lainnya), mendirikan Sarekat Prijaji dan Sarikat Dagang Islamijah, serta membuka bisnis hotel dan biro bantuan hukum. Sehingga R.M Tirtoadhisoerjo menjadi semacam archetype bagi pemimpin pergerakan pada masa berikutnya. Kemudian pada bulan Mei tahun 1908 organisasi Boedi Oetomo dibentuk.

Tak lama setelah itu, SI/SDI muncul. Berawal dari organisasi ronda untuk menjaga keamanan di lingkungan pengusaha batik, SI kemudian menjadi wadah masyarakat Islam Hindia terbesar dengan bermacam individu yang memiliki karakter dan latar belakang masing-masing. Dari bermacam karakter dan latar belakang itulah, kemudian, SI menjadi semacam arena bagi pertarungan gagasan/ide dalam menafsirkan bagaimana seseorang seharusnya berjuang menjadi “satria sejati”.

Yang menarik lagi, bagaimana Takashi membagi plot-plot waktu perjalanan sejarah berdasar analisa situasi politik dan ekonomi. Tentang bagaimana situasi ekonomi yang dipengaruhi siklus bisnis mampu memicu radikalisme yang juga naik turun. Ketika periode inflasi tinggi, protes buruh semakin radikal. Sebaliknya, ketika kebijakan represi dilakukan, kondisi politik semakin ‘tenang’. Jadi, ada semacam ‘kebetulan’ yang kemudian dimanfaatkan oleh agen-agen propaganda pergerakan untuk memaknai situasi tersebut.

Tema lain yang barangkali mendominasi narasi buku ini ialah tentang bermacam pertentanngan personal yang dibungkus dengan bahasa yang bersifat ideologis. Walaupun seperti itu, Takashi dengan jeli menganalisis perkataan tertulis dalam arsip-arsip dengan cara yang memikat. Mencoba memaknai dan memahami maksud dari sang aktor secara hati-hati. Semisal pertentangan antara Marco Kartodikromo dengan Tjokroaminoto, Semaoen dengan Soerjopranoto yang dipandang sebagai pertentangan antara kelompok komunis dengan pengurus SI pusat, seorang mubalig radikal beraliran Marxis, Misbach, melawan Syeitan Kapitalisme (yang dimaksud ialah Moehamdyah), antara Tjipto Mangoenkoesoemo dengan kelompok Boedi Oetomo, Kesunanan dan Mangkunegaran.

Walaupun demikian, ada yang terasa kurang dari buku ini. Tiadanya foto-foto dokumentasi sejarah yang tidak dilampirkan membuat sulit pembaca untuk meng-imajinasi-kan sosok yang digambarkan oleh sang penulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar