Image by FlamingText.com
Image by FlamingText.com

Senin, 02 Januari 2012

EXPLORING THE ISSUES-ISSUES OF KNOWLEDGE GEOGRAPHY [1]

MENJELAJAHI PERSOALAN-PERSOALAN PENGETAHUAN GEOGRAFI[1]

oleh Giyanto Giy pada 31 Desember 2011 pukul 12:44
Oleh: Giyanto

We shall not cease from exploration
And the end of all our exploring
Will be to arrive where we started
And know this place for the first time
 T. S. Eliot, Little Gidding[2]

Sejak kecil saya bukan termasuk anak yang nakal. Tapi, karena hidup dalam lingkungan teman-teman yang cukup nakal, memberi kesempatan saya untuk ikut mengalami pengalaman-pengalaman nakal. Kenakalan selalu menciptakan gairah. Sebuah gairah untuk menjelajahi hal-hal yang dianggap tabu atau baru: mencuri buah milik tetangga, mengintip, menyerang truk-truk yang lewat dengan ketapel, menyeberang sungai walaupun tak mampu berenang, berjalan di atas pembuangan kotoran babi hanya sekedar untuk menonton lomba kompetisi sepak bola antar kampung, bersepeda sejauh 20 km untuk menelesuri goa-goa karst, kebut-kebutan dengan sepeda menjelajahi lorong-lorong kota, mengunjungi makam-makam wali yang ada di gunung, menyusuri pantai, menyusuri sawah dan juga menyusuri sungai.


Itulah secuil pengalaman masa kecil. Pengalaman tentang bagaimana usaha menjelajahi hal-hal yang dianggap keren dalam ukuran sudut pandang anak sekolah dasar dimasa itu. Yang sebagian darinya akan disebut sebagai: pengalaman geografis. Pengalaman geografis merupakan endapan dari ingatan yang ditimbulkan  oleh adanya kontak antara kesadaran dengan ruang atau tempat dimana manusia hidup.

Pengalaman-pengalaman manusia jika dicatat, direfleksikan, disusun secara sistematis dan kemudian dipublikasikan bisa jadi akan mampu membentuk sebuah ilmu pengetahuan. Akan tetapi, tidak semua hasil pengalaman ialah ilmu pengetahuan. Jika pengalaman berhenti hanya sekedar laporan peristiwa, ia akan disebut sebagai berita atau kumpulan fakta, dan jika fakta tersebut ternyata hanya setengah sahih, maka akan disebut sebagai sekedar gossip, dan apabila laporan pengalaman tersebut tidak sesuai dengan kenyataan dunia, maka ia akan disebut sebagai sekedar karya fiksi.

Geografi ialah varian dari ilmu pengalaman. Dalam bahasa ilmiah disebut sebagai ilmu-ilmu empiris[3]. Prasyarat utama yang tak bisa dilepas untuk mendapatkan pemahaman akan pengetahuan empiris adalah pengamatan atau observasi. Entah pengamatan itu berasal dari pengukuran, sekedar pencatatan, membaca atau sekedar refleksi, itu semua hanya merupakan persoalan perbedaan cara dalam memperoleh ilmu pengetahuan.

Inti dari hakekat ilmu pengetahuan ialah kemampuannya dalam hal menjelaskan. Kebutuhan manusia terhadap penjelasan tentang apapun yang ada di dunia atau alam semesta ini itulah fungsi adanya pengetahuan. Fungsi tersebut merupakan salah satu fungsi pokok bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam menjalani kehidupan. Tanpa pengetahuan, manusia akan selalu kebingungan. Walaupun demikian, Tanpa adanya rasa bingung, manusia tak akan butuh ilmu pengetahuan. Anda dan saya akan sulit membayangkan hidup dalam dunia manusia yang tiba-tiba tahu atau yang tiba-tiba serba mahatahu (omniscience). Jika ada manusia yang tiba-tiba serba tahu, tak perlu ia mencari pengetahuan.

Dalam kesempantan ini saya tidak akan membicarakan secara panjang lebar tentang persoalan ilmu geografi per se, namun akan lebih memfokuskan secara reflektif-subyektif dengan observasi yang terbatas, dalam konteks lokal, terhadap hal-hal yang saya temui terkait perkembangan ilmu pengetahuan geografi dewasa ini, baik selama belajar maupun selama mengajar di tingkat universitas.

Persoalan definisi dan Karakter Keilmuan
Dalam buku teks pengantar geografi, seringkali pendefinisian ilmu geografi sangat bermacam-macam. Walaupun pada intinya, pokok bahasan pengetahuan geografi adalah pengetahuan tentang ruang muka bumi. Baik dari segi lapisan atmosfer yang berada di atas muka bumi, struktur lapisan yang berada di bawah muka bumi, serta lapisan sosial-budaya yang diciptakan oleh manusia yang menduduki diatas permukaan bumi tersebut[4]. Pokok cakupan yang begitu luas demikian bukannya menimbulkan suatu persoalan. Di satu sisi ia memberi ruang tanpa batas bagi hasrat rasa ingin tahu tentang segala hal dan isinya yang ada di atas muka bumi, tapi disi lain ia meneguhkan persepsi awam bahwa ilmu geografi tidak memiliki karakter khas. Dengan bahasa yang sarkastik,  Ilmu geografi itu ibarat ilmu yang tidak memiliki jenis kelamin apapun.

Hal ini tidak lepas dari kecenderungan serta kecondongan ketika para akademisi, praktisis dan peneliti geografi sekarang ini dalam melakukan kerja geografinya, seolah-olah mereka melakukan kajian-kajian yang sepertinya merupakan lahan bagi bidang keilmuwan yang lain. Atau jika diamati secara serius, ada sebuah kesan bahwa banyak ahli bidang lain yang terpersorok dalam persoalan-persoalan kajian geografi[5].

Secara internal, para pelaku ilmu geografi seringkali mengidentifikasikan dirinya sebagai pengkaji keilmuwan, baik teoritis maupun praktis, segala hal tentang muka bumi[6]. Akan tetapi dalam kenyatannya, para pekerja dan para buruh geografi seringkali terlalu asyik dengan proyek-proyek praktis yang datang dari bermacam stake holder yang memiliki kepentingan dengan ilmu geografi. Sehingga hal ini memunculkan persoalan kedua, yaitu persoalan melambatnya dinamika teoritis.

Persoalan Rendahnya Dinamika Teoritis Ilmu Geografi
Sekarang ini, persoalan kemandekan perkembangan teoritis ilmu geografi bisa dikatakan sangat akut bahkan, bisa dikatakan menuju kebuntuan. Semenjak revolusi kuantitatif di era 1960-an, mimpi teoritis dari kaum positivistik[7] untuk menciptakan ilmu geografi yang objektif ternyata memberi malapetaka jangka panjang yang menyakitkan[8].

Tidak seperti kajian Ilmu Sejarah dan Psikologi yang mampu menggunakan semua varian metodologi untuk mengembangkan bidang ilmunya. Yang kemudian berdampak pada meningkatnya dinamika teoritis dari keilmuwan yang bersangkutan. Dinamika teoritis Ilmu Geografi sepertinya jalan ditempat dengan kecenderungan menggunakan satu wajah tunggal metodologis, yakni pendekatan spasial[9].

Sebagai suatu pendekatan, pendekatan spasial bukanlah merupakan persoalan itu sendiri. Akan tetapi yang menjadi persoalan sebenarnya bukanlah pada penggunaan pendekatan spasial per se, tapi lebih pada cara menangkap semangat zaman (zeitgeist) yang terlalu menggebu-ngebu untuk mengejar objektivitas, alih-alih pada kreativitas, pemaknaan, pemahaman dan pendekatan yang lebih membawa kearah tingkat abstraksi yang lebih umum dan imajinatif---yang merupakan karakter khas dari prasayarat perkembangan segala bidang ilmu pengetahuan dari abad- ke abad.  Sebab dan akibat dari cara menangkap semangat zaman yang demikian sebenarnya, menurut saya, setidaknya bisa diamati dari persoalan ketiga  yaitu rendanya jumlah karya akademik ilmu geografi. 

Persoalan Minimnya Jumlah Karya Pengetahuan Geografi
Jika dicatat, setidaknya ada sekitar lima nama besar penulis-penulis buku geografi di era tahun 1970-an dan 1980-an yang sangat berpengaruh terhadap ilmu geografi ditingkat pendidikan universitas hingga saat ini, serta mewakili patron keilmuwan bagi lembaga dimana mereka bekerja. Diantaranya ialah Daldjoeni (UKSW Salatiga), Bintarto (UGM), Suharyono (Unnes), I Made Sandi (UI) dan Nursit Surya Atmaja (UPI)[10].

Minimnya jumlah karya akademik yang terkait ilmu geografi sebenarnya bisa dilihat sepintas merupakan berasal dari problem sederhana dan sepele: kurang terampilnya dalam hal menulis secara sistematis. Ketidakmampuan dalam menyampaikan gagasan-gagasan sendiri, serta hasil-hasil risetnya sendiri dengan bahasa yang bisa ditangkap secara awam menyebabkan keterisolasian ilmu geografi dari ranah perdebatan intelektual yang mustinya mampu diakses dan dinikmati oleh masyarakat sebagai konsumen akhir produk pengetahuan.

Dengan demikian, di era sekarang dimana bidang keilmuan yang lain mengalami perkembangan yang pesat bahkan pada sebagian bidang keilmuan, seperti ekonomi dan psikologi, seringkali mengalami inflasi (kelebihan stok) teoritis, dalam bidang geografi yang terjadi justru sebaliknya, yaitu terjadikesunyian intelektual.

Apa yang musti dilakukan?
Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi problematika keilmuan geografi yang telah saya singgung diatas setidaknya memperlukan tindakan konkret untuk mengatasinya. Hal yang musti dilakukan ialah, yang pertama, menginternalisasi semangat dan budaya mencari, mengeksplorasi, menjelajah, mencantat, menyusun, melaporkan segala yang terkait dengan deskripsi ruang, tempat dan ekolologi yang menjadi konsep inti kajian geografi. Yang kedua, mengorganisasikan pelaku yang berkepentingan dalam bidang geografi untuk memperoleh ruang ekspresi yang bebas dan terarah. Cara ini bisa dilakukan dengan ikut aktif dalam organisasi profesi bidang keilmuan serta menciptakan kelompok dan komunitas diskusi yang memungkinkan terjalinnya pertukaran gagasan terkait bidang geografi. Ketiga, dan yang barangkali terpenting, meningkatkan komptensi menulis serta kemampuan ekspresif para peminat geografi. Hal ini bisa dilakukan dengan menerbitkan secara rutin jurnal, majalah atau buletin geografi yang bisa dimanfaatkan sebagai media belajar menyampaikan gagasan-gagasan geografis.

Memanfaatkan Kota Palembang sebagai Laboratorium Penyelidikan Geografis
Akhir-akhir ini telah terbit beberapa buku yang mengkhususkan diri mengkaji tentang kota Palembang atau setidaknya yang terkait dengan kota Palembang. Pada tahun 2010 telah terbit buku kumpulan artikel dari reportase wartawan Kompas yang mengkaji perihal kehidupan manusia dan kondisi lingkungan sekitar Daerah Aliran Sungai Musi. Kemudian pada tahun tahun 2011 muncul buku tentang kota Palembang dari perspektif sejarah yang ditulis oleh Dedi Irwanto. Serta buku terjemahan dari O.W Wolters yang menelaah tentang masa-masa perdagangan Sriwijaya pada abad ke tiga hingga abad ke tujuh. Ini artinya ada kecenderungan yang kuat meningkatnya minat dari beberapa kalangan untuk mencoba mengkaji kota Palembang secara lebih serius.

Palembang sebagai sebuah kota, ataupun Palembang sebagai sebuah daratan yang tercipta oleh proses fluvial yang terjadi pada Sungai Musi sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai laboratarium alam dan laboratorium budaya yang sangat luar biasa kaya akan data pengetahuan.   Kesempatan tersebut hanya mampu dimanfaatkan jika para cendekia yang memiliki ketertarikan dan kecintaan akan ilmu pengetahuan beserta isi kotanya. Cara yang sangat mungkin sekali ditempuh adalah meneliti secara serius dari bermacam perspektif dan pendekatan yang telah ditawarkan oleh bermacam bidang pengetahuan, salah satunya ialah pengetahuan geografis.

Sekarang ini, sangat mudah mengakses data-data geografis lewat internet---dengan memanfaatkangoogle-earth. Akan tetapi, keberlimpahan akses dan prasarana ternyata belum berbanding lurus dengan meningkatnya karya-karya geografis yang berkaitan dengan aspek-aspek lokalitas. Seperti yang telah disinggung, bahwa kurangnya referensi bisa jadi ikut berperan dalam menyebabkan kesunyian intelektual dari kalangan peminat ilmu geografi.

Namun mempersoalkan minimnya referensi sebagai alasan untuk tidak berkarya sepertinya lebih tepat disebut sebagai upaya pembenaran daripada kebenaran itu sendiri. Munculnya beberapa buku tentang Kota Palembang dan Sriwijaya bisa digunakan sebagai titik awal untuk membuat semacam diagnosis serta menguraikan anatomi permasalahan kota yang telah berumur lebih dari 2000 tahun ini[11].

Cara yang paling realistis adalah dengan sesegera mungkin merumuskan permasalahan-permasalahan yang tepat sebagai titik pijak penjelajahan. Kemudian menentukan pendekatan dan metodologi yang sekiranya tepat untuk mecahkan permasalahan yang telah dirumuskan.

Akhir kata, tidak perlu untuk menjadi cerdas untuk bisa kerkelana. Yang diperlukan hanya sekelumit rasa ingin tahu dan keberanian yang cukup untuk mengakui bahwa dunia terlalu indah untuk diabaikan dan dibiarkan. Jadi, diam ditempat bukanlah sikap yang tepat dari seorang geograf.

Rekomendasi Bacaan
Basil Gomez dan John Paul Jones III (ed). 2010. Research Methods in Geography: A Critical Introduction. Oxford: Wiley-Blackwell.
Bintarto, R dan Hadisumarmo, S. 1982. Metode Analisa Geografi. Jakarta: LP3ES.
Daldjoeni, N. 1987. Pokok-Pokok Geografi Manusia. Bandung: Penerbit Alumni
Irwanto, Dedi. 2011. Venesia Dari Timur: Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang dari Kolonial sampai Pascakolonial. Yogyakarta: Ombak
John A. Matthews dan David T. Herbert. 2008. Geography: A Very Short Introduction. London: Oxford University Press
Nas, Peter J.M. 2007.  Kota-Kota Indonesia: Bunga Rampai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Nurhan, Kenedi (ed). 2010. Jelajah Musi: Eksotika Sungai di Ujung Senja. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Suharyono. 1994. Pengantar Filsafat Geografi. Jakarta: Direktorat Pendidkan Tinggi
Wolters, O.W. 2011. Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dan Perniagaan Dunia Abad III-Abad VI. Jakarta: Komunitas Bambu


[1] Disampaikan dalam diskusi perdana Geography Science Club Universitas PGRI Palembang tanggal 31 Desember 2011.

[2] John A. Matthews dan David T. Herbert, “Geography: A Very Short Introduction” (Oxford University Press, 2008). Hlm 1.

[3] Bedakan dengan ilmu non-empiris seperti Logika, Matematika dan Praksiologi. Sekarang ini ada kerancuan dari para ilmuwan dalam membedakan apakah suatu ilmu tersebut empiris atau non-empiris. Ilmu non-empiris lebih menekankan pada pemanfaatan nalar tanpa harus melakukan pembuktian.

[4] Ibid., hlm. 8.

[5] Dalam skala internasional, sebagai contoh, ada kecenderungan meminati kajian geografis dari seorang ekonom Paul Krugman pada awal abad 21.

[6] Ibid., hlm 152.

[7] Kaum positivistik yang dimaksud di sini adalah penganut paham keilmuwan yang menggunakan cara pandang ilmu pengetahuan alam untuk menjelaskan segala hal.

[8] Penjelasan tentang perkembangan masuknya pengaruh positivisme pada ilmu geografi kemudian mengakibatkan memudarnya pendekatan regional semenjak era 1950-an dapat dibaca pada Suharyono dan Moch Amien, “Pengantar Filsafat Geografi” (Jakarta : Direktorat Pendidikan Tinggi, 1994) hlm. 114.

[9] Pendekatan keruangan (spasial) ialah suatu pendekatan yang menekankan pencarian pola-pola dan perubahan lokasional. Kecenderungan penggunaan pendekatan spasial dengan metodologi kuantitatif dapat dilihat dalam buku Bintarto, R. dan Surastopo Hadisumarno, “Metode Analisa Geografi” (Jakarta: LP3ES, 1982) atau buku metode penelitian yang mengklaim sebagai penelitian geografi tetapi tidak memiliki pendekatan geografis apapun seperti dalam buku metode dari Moh Pabundu Tika, “ Metode Penelitian Geografi” (Jakarta: Bumi aksara, 2005). Akan tetapi, untuk karya yang secara konsisten menekankan pendekatan regional dapat dibaca dalam karya-karya Suharyono, “Pengantar Filsafat Geografi” (Jakarta: Direktorat Pendidkan Tinggi, 1994) dan “Dasar-dasar Kajian Geografi Regional” (Semarang: Unnes Press, 2005). Atau karya-karya yang lebih cenderung historis dan humanis dapat dibaca melalui karya-karya N. Daldjoeni, “Pokok-Pokok Geografi Manusia” (Bandung: Penerbit Alumni, 1986).

[10] Untuk kajian yang lebih spesifik dari ahli geografi di era tahun 2000 ke atas seperti Hadi Sabari Yunus dan Baiquni lebih menekankan pada studi perkotaan, ekonomi dan metodologi kewilayahan.

[11] Dengan asumsi jika benar bahwa kerajaan Sriwijaya berada di kota Palembang, hal ini dimungkinkan bahwa keberadaan kota Palembang berusia lebih dari apa telah diperkirakan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar