Image by FlamingText.com
Image by FlamingText.com

Senin, 02 Januari 2012


Nusantara: Sejarah Indonesia

oleh Giyanto Giy pada 17 Oktober 2011 pukul 13:31
Karya Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia menarik untuk dicermati.  Ia menyuguhkan garis besar bagaimana evolusi dari yang awalnya ekspedisi kapal dagang pengusaha-pengusaha Belanda menjadi kekuatan imperialis yang sangat kuat di Asia Tenggara, yang dalam buku tersebut disebut sebagai Hindia-Timur. Niat berdagang ternyata tidak cukup untuk mengatasi persoalan persaingan dengan Bangsa-bangsa Eropa sendiri di wilayah baru, yang sebelumnya telah diduduki oleh Bangsa Portugis. Kemudian Bangsa Inggris datang. Ditambah, konflik-konflik kecil diantara raja-raja di jawa dan beberapa konflik antara pedagang Eropa dengan penduduk lokal. Persoalan pun menjadi kian rumit. Akhirnya, penggunaan kekuatan militer tak bisa dihindari. Inilah yang kemudian menciptakan perubahan struktur relasi, dari berdagang menjadi berperang kemudian memerintah.

Karya Vlekke memiliki beberapa keunggulan. Cara penyuguhannya yang ringan kemudian diikuti oleh ilustrasi-ilustrasi dan detail-detail yang kaya akan data menciptakan karya ini tidak bisa disebut karya sejarah biasa. Pada bagian pendahuluan dijelaskan garis besar kondisi geografis Nusantara, kemudian pada bab pertama hingga bab tiga menjelaskan garis besar sejarah Indonesia semasa kejayaan Kerajaan Hindu-Budha di Jawa dan Sumatera. Kemudian masuknya Islam dan bangsa Eropa awal, yaitu Portugis, dimulai pada Bab empat. Bab lima kemudian menyuguhkan kisah bagaimana pedagang dari negeri Rendah, Belanda, datang. Bab tersebut hingga bab penutup, yaitu bab enam belas, banyak menjelaskan bagaimana evolusi itu terjadi hingga meletusnya revolusi kemerdekaan yang diawali oleh persaingan antara ide-ide konservatif dan liberal di parlemen belanda sehingga mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik dan pendidikan di negeri koloni Hindia Timur.

Kedua, Yang menarik selain alur dan gaya penulisannya.  Buku ini juga memberikan data-data ‘tak terduga’ terkait kebijakan berbagai bidang. Dari sisi moneter, pertanahan, keagamaan, dan bahkan beberapa Introduksi tanaman yang bukan khas Indonesia yang sekarang ini telah banyak mengubah landskap Indonesia.  Dalam bidang moneter, Vlekke menggambarkan bagaimana pemerintah Belanda pada saat periode kerajaan Mataram dan Banten kebingungan dengan beredarnya koin-koin cetakan lokal dari Madura, Cirebon serta koin-koin timbal dari Palembang dan Bali yang banyak beredar. Sehingga memaksa Belanda melakukan kebijakan moneter terpusat dengan menggunakan mata uang tunggal untuk transaksi. Yang pada akhirnya pemerintah Belanda memulai kebijakan inflasinya (Hal 248).

Atau tentang awal berdirinya Batavia, menurut Vlekke, yang dibangun oleh  Jan Pieterszoon Coen merupakan strategi untuk memenangkan persaingan jalur perdagangan antar Asia dengan  mengontrol laut Jawa. Walaupun harus mendapatkan perlawanan dari Mataram, Banten dan bahkan Inggris. Penggambaran kondisi Batavia awal sangat menarik. Digambarkan bahwa letaknya yang menghadap pantai membuat orang Belanda membangun benteng-benteng tertutup karena takut dengan angin laut yang ‘tidak sehat’.

Hal lain yang patut dicatat ialah tentang beberapa introduksi tanaman perkebunan yang sekarang membentuk sebagian landskap Indonesia.  Hoby sebagian pejabat Belanda di Batavia terhadap pertanaman ternyata mengalihkan perhatian pemerintah Belanda terhadap hasil-hasil perkebunan dibandingkan dengan perdagangan rempah-rempah yang merupakan tanaman asli Indonesia. Sekitar tahun 1700-an sebagian holtikulturis Belanda mulai bereksperimen dengan tanaman-tanaman non-Indonesia di ladang-ladang sempit mereka di Batavia. Salah satunya ialah tanaman kopi yang dikembangkan oleh Van Hoorn. Walaupun pohon kopi Van Hoorn tidak bisa tumbuh subur di tanah Jawa, namun eksperimennya dilanjutkan oleh  Zwaardecroon dan Chastelein dengan sangat berhasil. Namun hasil eksperimen saja tidak cukup. Adalah Witsen yang kemudian merealisasikan pembudidayaan tanaman kopi secara lebih luas, yaitu dengan membagikan bibit-bibit kopi di kalangan para kepala daerah di sekitar Batavia dan Cirebon (hal. 217).

Kemudian system kultur diperkenalkan oleh Van den Bosch, yaitu system pertanian yang dikontrol oleh pemerintah. Dampaknya ialah pengorganisasian lebih luas terhadap system pertanian di jawa, yang itu artinya pemaksaan besar-besaran penanaman tanaman-tanaman komoditas baik yang tanaman asli Indonesia maupun bukan asli Indonesia. Gula, kopi, nila, teh dan tembakau menjadi komoditas favorit. Untuk Teh, ia adalah barang dagangan yang sangat menguntungkan sejak akhir abad ke-17. Ia di-impor langung dari Cina. Adalah J. Jacobsen seorang ahli teh dari perusahaan dagang Belanda yang mengimpor benih teh dan pohon dari Cina kemudian mempelajari dan membudidayakannya di Pulau Jawa (hal 330).

Berbagai data disuguhkan oleh Vlekke, inilah yang membuat buku ini menarik. Sangat bisa dipahami mengapa Vlekke mampu menyajikan secara mendetail dan menyuguhkan analisa yang lebih kompleks dibanding analisa-analisa historis lain yang cenderung menyederhanakan. Pertama, karena si penulis ialah orang Belanda sendiri, kedua, berdasar pada keterangan di kata pengantar, ia adalah ahli dalam bidang hubungan internasional, dan ketiga datanya banyak diperoleh dari perpustakaan Harvard. Namun demikian, seperti karya historis lainnya, tak ada yang netral dalam usaha penjelasan historis. Posisinya yang cenderung memandang negatif kebijakan Inggris, terkhusus Raffles—-walaupun diimbangi dengan usaha penilaian yang ‘proposional’ dari kebijakan-kebijakan Raflles.

Buku ini patut dipakai sebagai atat pelacak sumber data yang bermanfaat bagi penelitian historis walaupun pembaca berhak memiliki penilaian sendiri terkait argument-argumen Vlekke tentang Indonesia sebelum revolusi kemerdekaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar